A.
Pendahuluan
Berbicara
tentang al-Qur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar
semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur’an dikaji dan
diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu
aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah
sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek
bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar
melafadzkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek kajian yang
paling jarang diperbincangkan baik kalangan santri atau kaum terpelajar,
padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama.
Hal ini barangkali bisa dimengerti, mengingat kurangnya kitab atau buku yang
secara panjang lebar mengupas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang
memiliki kemampuan memadahi tentang itu dan juga terlalu padatnya disiplin ilmu
yang dipelajari. Tingginya semangat para “santri” mempelajari dan mencari dalil
batalnya wudlu – misalnya – dari al-Qur’an, hadis dan pendapat-pendapat ulama,
ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari dalil
bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib dan penting bagi kaum
muslimin.
Dari
fenomena di atas perlu kiranya ditumbuhkan lagi semangat untuk mengkaji aspek
bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang agar kembali
diminati sebagaimana begitu semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat
pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai
akibat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang bacaan al-Qur’an, seringkali
dianggap ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) itu hanya
mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan
mad saja, sehingga mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat
dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal ada banyak kalimat yang cara
bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tashil,
isymam dan lain sebagainya.
Dalam
kesempatan ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman tentang bacaan gharib
dari bacaan Imam Ashim dari riwayat Hafs yang banyak dianut oleh hampir seluruh
kaum muslimin sedunia, juga alasan-alasan secara bahasa terntang proses atau
asal mula terjadinya bacaan gharib tersebut.
Alasan-alasan
(ihtijaj) kebahasaan dari bacaan gharib al-Qur’an yang akan dipaparkan
penulis di sini, hanyalah sebutir debu dibanding dari (besar dan luasnya)
hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah dari
perbedaan-perbedaan bacaan al-Qur’an tersebut. Dengan kata lain alasan-alasan
tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah)
memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha memahami
rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu yang ia titipkan pada
hambanya. Imam Nasiruddin Ahmad mengatakan bahwa ihtijajul qira’ah tidak
dimaksudkan mengkoreksi bacaan atau bahasa al-Qur’an dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab, akan tetapi sebaliknya proses penarikan argumen atau alasan itu
sebagai usaha mengkoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an
(Abu Thahir, 1994:290).
Seringkali
argumen-argumen yang dikemukakan mengenai bentuk qiraah tertentu kurang
relevan bila diqiyaskan dengan bacaan imam lain dalam kata yang sama atau
hampir sama. Namun, dari sini justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa
perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qiraah atau
para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para
sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jalla.
B. Sekilas tentang bacaan gharib Imam Ashim Riwayat Hafs
Salah
satu imam qiraat yang bacaannya paling banyak diikuti adalah Abu Bakar Ashim
bin Abi An-Najud (w. 120 H), yang terkenal dengan nama Imam Ashim. Qari’ asal
Kufah ini berguru pada Abu Abdurrahman As-Sulami yang merupakan murid langsung
Ali bin Abi Thalib. Beliau juga belajar al-Quran dari Zurr bin Hubaisy yang
merupakan murid dari Abdullan bin Mas’ud. Beliau mengajarkan al-Quran yang
berasal dari jalur Ali bin Abi thalib kepada muridnya Hafs bin Sulaiman,
sementara untuk muridnya yang lain Abu Bakar bin Iyasy, beliau mengajarkan
al-Quran yang berasal dari jalur Abdullah bin Mas’ud.
Para
ulama terkenal era tabi’in banyak yang pernah berguru kepadanya, diantaranya
Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nuaim bin Maisarah,
Atha’ bin Abi Rabah. Dua murid yang disebut pertama di atas menjadi perawi
utama dari Ashim. Antara Hafs (w.180 H) dan Syu’bah (w.193 H) terdapat
perbedaan 520 huruf meski keduanya sama-sama murid dari Ashim. Bacaan Hafs
mulai tersebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani didukung oleh
banyaknya cetakan al-Quran dari Saudi Arabia hingga ke seluruh dunia, padahal
sebelumnya hanya mendominasi di kawasan timur saja (benua Asia).
Sebelum
diulas tentang bacaan gharib versi Hafs, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu
di sini pengertian gharib itu. Istilah gharib terambil dari
bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat dari
kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit) dan khafiya
(samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak popular dalam
peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan para pakar ilmu
qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di Indonesia.
Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut
pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya
terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut.
Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara
tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap
gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah.
C. Pembahasan
1.
Saktah
Secara
bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكت – سكوتا yang
berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah adalah
memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (M. Makky Nasr,
tt:153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada
bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap
ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم (Arwani
Amin, tt:3-6).
Sedangkan
dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan saktah hanya ada di
empat tempat, yaitu:
a.
Surat al-Kahfi ayat 1 :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ
عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ
بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)
1.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab
(Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya;
2. (Sebagai bimbingan) yang
lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan
memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal
saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,
b.
Surat Yasin ayat 52 :
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا
مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
Mereka
berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari
tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah
dan benarlah Rasul- rasul(Nya).
c.
Surat al-Qiyamah 27 :
كَلَّا
إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27)
26.
Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke
kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat
menyembuhkan?”,
d.
Surat al-Muthaffifin 14 :
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ
مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.
Pada
saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat pada surat
Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang qari
mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah
berhenti pada waqaf tamm (sempurna). Namun setelah melihat kalimat
setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما , kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما bukan sifat/naat dari kata
عوجا , melainkan jadi hal atau maf’ul
bih, sehingga jelas tidak tepat bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah
tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”.
Mestinya terjemahannya adalah: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran
yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan
tersebut sesuai dengan analisis sintaksis dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy.
Menurut
Ad-Darwisy (2002:530/V) kata قيّما dinashabkan
sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ,
sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran
menyimpan fi’il berupa ” جعله “. Berbeda
juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana
juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena
beberapa alasan di atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun
diwaqafkan sama-sama tidak tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah.
Demikian
juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII) kata هذا itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang
menjadikan kata هذا itu sifat dari
مرقد, sementara
ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai.
Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah
yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang
dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua,
orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah
dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah,
kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk
memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa
tafsir bahwa kata هذا dan seterusnya
bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau orang mukmin
(As-Shabuni, 1997:16/III).
Sedangkan
untuk pada من pada مَنْ
– راق dan بل pada بَلْ ران yaitu
untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, juga untuk
mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila
bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (Al-Qaisy, 1987:II/55).
Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من dan بل itu perlu
dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata
terpisah yang memiliki makna tersendiri.
Selain
empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang dianjurkan oleh para
imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu:
1.
Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
() بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
2.
Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29:
مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ () هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Saktah
pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski
tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk
membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ dan ha’
fi’il pada هَّلَكَ.
2.
Imalah
Secara
bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة (الرمح) yang
berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah
imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah
ya’ (Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan
al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah,
seperti الضحى،
قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya
terdapat pada kata مجراها (QS. Hud:41).
Dan
Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di
waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam
ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina
baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati
fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan
imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih)
untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini
bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat
bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah
itu lebih ringan dari terangkatnya lidah (Abu Thahir, 1994:312). Juga dengan
bacaan imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut
akan tetap tampak ketika dibaca.
Alasan
diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha”
yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti
berjalan di laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah
al-Arabiyyah al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara”
yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik
berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya
perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di
darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat
rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan.
3.
Naql (Menggeser harakat)
Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql
berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak
ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau
tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم .
Dalam
riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11).
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Alasan
bacaan naql pada kata الاسم yaitu
terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat),
yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda
yang tergolong hamzah washal), yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah
tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya. Di antara
manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.
4.
Badal/Ibdal (mengganti huruf)
a. Penggantian Hamzah dengan Ya’
Badal/ibdal
yang dimaksud di sini adalah إبدال
الهمزة الساكنة بالياء (mengganti hamzah sukun dengan ya’.
Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan
kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت (QS.
Yunus:15), في السموات
ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini
uraian ayat selengkapnya:
Katakanlah:
“Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan
kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka
berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab
yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang
dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4)
Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak
mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain
dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada
siksa hari yang besar (kiamat)”.
(QS. Yunus:15)
Adapun
bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut
diganti ya’ ketika diwashalkan (Al-Qadli, 1981:143).
b. Penggantian Shad dengan Siin
Yakni
mengganti shad dengan siin pada kata يبصط (QS.
al-Baqarah:245) dan بصطة (QS.
al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali
Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Al-Qadli, 1981:119) sedangkan pada بمصيطر
(QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain
halnya dengan المصيطرون
(QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad
dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya (Al-Qadli, 1981:306).
Alasan
digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada
asal katanya, yaitu بسط
– يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad
yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat
ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’
(Al-Qaisy, 1987:I/34).
5.
Isymam
Yaitu
membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir
setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل dengan
mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah
membaca isymam kata صراط،
الصراط dengan memadukan bunyi ص
dan ز (Al-Qadli, 1981:15). Namun dalam
bacaan Hafs isymam hanya ada kata لا تأمنا. yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa
ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Berikut ini ayat
selengkapnya:
Mereka
berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap
Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan
baginya.
Kalau
diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan
yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih
jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti
kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti bacaan di
atas disebut idgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama dan
sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim,
hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf
yang sama, yang salah satunya huruf mati).
Secara
bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua
nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan (Al-Qaisy,
1987:II/161). Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il
mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata
“la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan
nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:
قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ
تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ
(Mereka,
saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidak
percaya pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya).
6.
Tas-hil
Arti
tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah
qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan
– dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain.
Hanya
saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS.
al-Fusshilat:44).
Dan
Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab,
tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah
(patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.
dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al
Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang
dipanggil dari tempat yang jauh”.
Ketika
bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata
semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa
meringankan.
Juga
ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nasr
Makky (tt:137) ada enam tempat, yaitu
1.
Surat al-An’am ayat 143 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا
اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
2.
Surat al-An’am ayat 144 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا
اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
3.
Surat Yunus
51
: أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ
بِهِ آلْآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ
4.
Surat Yunus
91
: آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ
وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
5.
Surat Yunus
59
: قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ
عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
6.
Surat al-Naml
59
: قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ
عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
7.
Madd & Qasr
Dalam
qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm
usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di
antaranya:
a-
ملك terbaca مالك
Imam
Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek.
Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك dan bukan ملك
الملك juga karena maalik berarti
dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga
dalam Allah berfirman: ملك
الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang
seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين (Al-Qaisy, 1987:I/26).
b-أنا terbaca أن ketika washal
Alasan
dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena
fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana
menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت
). Ketika ada kata benda yang hurufnya
sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi
tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak
ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat (Al-Qaisy,
1987:II/61).
Ada
juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS.
Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan ayatnya:
Tetapi
aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan
seorangpun dengan Tuhanku.
yakni
dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu
dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن
+ نحن .
c-
الرسولا،
الظنونا، قواريرا
Imam
Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin,
sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa
tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul,
keduanya mewaqafkan tanpa alif (Al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan
mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot
mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena
sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh
ditanwin. Sedangkan الظنونا،
الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan
tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang
dipanjangkan dengan alif (Al-Qaisy, 1987:II/353).
d-
أولئك،
أولوا، الملاء
Dalam
rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi
terbaca seperti هذا،
هذه، ذلك . Inilah yang merupakan keunikan
dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.
8.
Shilah
Kaidah
umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir
yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan
juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena
tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf
sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah (Al-Qaisy, 1987:I/44),
sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para
ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun
yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad
setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih (Al-Qaisy, I/42).
Kendatipun
demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjang walau didahului
huruf mati seperti ويخلد
فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini
Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’
(panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga
hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun
adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang
dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي atau عليهي (Al-Qaisy,
1987:I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului
huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu يرضه لكم (QS.
Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’,
Ya’qub (Al-Qadli, 1981:274).
Alasan
dipanjangkannya kata فيه yaitu
mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في
menjadi فيهو , akan tetapi
karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’
harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu
menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه . Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan
istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan).
Menurutnya konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut.
Ayat itu menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan
oleh “ibadur rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”.
(yakni)
akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam
azab itu, dalam Keadaan terhina,
Sebagai
konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah
serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii,
seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut
menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu).
Mengenai
alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan semacamnya yaitu
mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
Demikian
juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang didlammahkan meski jatuh
setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10.
Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.
Asbabun
nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah tahun keenam
Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi
Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah
lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin
Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan
kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang
karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa
Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan
bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada
Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan
tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam
ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini
menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim
utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini
terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Menurut
Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan sifat yang mulia dan
luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan dan
keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena
memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi
menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah.
9.
Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam
al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف (QS. al-Ruum:54).
Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kata
tersebut adalah masdar dari ضعُف – يضعَف .
Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam
Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim) memfathah dlad dan lainnya kecuali
Imam Hafs membacanya dengan dlammah. Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya,
fathah dan dlammah.
Alasan
terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر (Al-Qaisy, 1987:II/213).
10.
Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat
Dalam
Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat
al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi Ubay bin
Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal
setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah,
oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih
utama karena adanya keserupaan keduanya.
(Inilah
pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada
orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian
(dengan mereka).
Imam
Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah
itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat
adzab atau siksaan (al-Qaisy, 1987:I/20).
Para
ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat
al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di
awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli
dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan
mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain
(Al-Qadli, 1981:13).
Daftar Rujukan
Abu Thahir, Abd al-Qayyum ibn Abd
al-Ghafur. 1994. Shafahat fi Ulumal-Qiraat. Madinah: Mathabi ar-Rasyid.
Ad-Darwisyi, Muhyiddin. 2002. I’rabul
Quran wa Bayanuh. Damaskus: Dar Ibn Katsir. Juz I. Hal. 5-7.
Al-Khalidi, Shalah Abd Fattah. 2004.
Lathaif Qur’aniyyah. Damaskus: Dar al-Qalam
Al-Qadli, Abdul Fattah. 1981. Al-Budur
az-Zahirah. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby.
Al-Qaisy, Abu Muhammad Makki ibn Abi
Thalib. 1987. Al-Kasyfu an Wujuh al-Qiraat as-sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha.
Cet. 4. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Arwani Amin. Tanpa tahun. Faidl
al-Barakat. Kudus: Penerbit Menara Kudus
Ibrahim Mushtofa. Tanpa tahun. Al-Mu’jam
al-Wasith. Kairo: Dar ad-Da’wah
Muhammad Makki Nasr. Tanpa tahun. Nihayat
al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid. Kairo: Maktabat as-Sofa.
Alhamdulillah...trimakasih yach
BalasHapusSaya ikut nyimak
Jazaakallah.. sangat membantu 👍
BalasHapusTerimakasih sangat membantu.....
BalasHapusAlhamdulillah sangat membantu, tapi untuk poin yang ke sepuluh itu dianjurkan baca basmalah di tengah" surat Al Bara-ah, Nah Maksud ditengah" nya itu disebelah mananya ya...?
BalasHapus