Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.
Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti
hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari
sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di
belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa :
110]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”
[Al-An’am : 103]
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran
pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para
Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang
yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan
mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau
menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit,
permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an
sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang
disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku
Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para
sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur
Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab,
Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.