Rahasia Dibalik Ghara-ibul Qira’at (Sebuah Analisis Linguistik Terhadap Bacaan-Bacaan Gharib)

A. Pendahuluan
Berbicara tentang al-Qur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar melafadzkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan baik kalangan santri atau kaum terpelajar, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama. Hal ini barangkali bisa dimengerti, mengingat kurangnya kitab atau buku yang secara panjang lebar mengupas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadahi tentang itu dan juga terlalu padatnya disiplin ilmu yang dipelajari. Tingginya semangat para “santri” mempelajari dan mencari dalil batalnya wudlu – misalnya – dari al-Qur’an, hadis dan pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari dalil bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib dan penting bagi  kaum muslimin.
Dari fenomena di atas perlu kiranya ditumbuhkan lagi semangat untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang agar kembali diminati sebagaimana begitu semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang bacaan al-Qur’an, seringkali dianggap ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) itu hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, sehingga mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal ada banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tashil, isymam dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman tentang bacaan gharib dari bacaan Imam Ashim dari riwayat Hafs yang banyak dianut oleh hampir seluruh kaum muslimin sedunia, juga alasan-alasan secara bahasa terntang proses atau asal mula terjadinya bacaan gharib tersebut.
Alasan-alasan (ihtijaj) kebahasaan dari bacaan gharib al-Qur’an yang akan dipaparkan penulis di sini, hanyalah sebutir debu dibanding dari (besar dan luasnya) hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah dari perbedaan-perbedaan bacaan al-Qur’an tersebut. Dengan kata lain alasan-alasan tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah) memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha memahami rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu yang ia titipkan pada hambanya. Imam Nasiruddin Ahmad mengatakan bahwa ihtijajul qira’ah tidak dimaksudkan mengkoreksi bacaan atau bahasa al-Qur’an dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, akan tetapi sebaliknya proses penarikan argumen atau alasan itu sebagai usaha mengkoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an (Abu Thahir, 1994:290).
Seringkali argumen-argumen yang dikemukakan mengenai bentuk qiraah tertentu  kurang relevan bila diqiyaskan dengan bacaan imam lain dalam kata yang sama atau hampir sama. Namun, dari sini justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qiraah atau para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jalla.
B. Sekilas tentang bacaan gharib Imam Ashim Riwayat Hafs
Salah satu imam qiraat yang bacaannya paling banyak diikuti adalah Abu Bakar Ashim bin Abi An-Najud (w. 120 H), yang terkenal dengan nama Imam Ashim. Qari’ asal Kufah ini berguru pada Abu Abdurrahman As-Sulami yang merupakan murid langsung Ali bin Abi Thalib. Beliau juga belajar al-Quran dari Zurr bin Hubaisy yang merupakan murid dari Abdullan bin Mas’ud. Beliau mengajarkan al-Quran yang berasal dari jalur Ali bin Abi thalib kepada muridnya Hafs bin Sulaiman, sementara untuk muridnya yang lain Abu Bakar bin Iyasy, beliau mengajarkan al-Quran yang berasal dari jalur Abdullah bin Mas’ud.
Para ulama terkenal era tabi’in banyak yang pernah berguru kepadanya, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nuaim bin Maisarah, Atha’ bin Abi Rabah. Dua murid yang disebut pertama di atas menjadi perawi utama dari Ashim. Antara Hafs (w.180 H) dan Syu’bah (w.193 H) terdapat perbedaan 520 huruf meski keduanya sama-sama murid dari Ashim. Bacaan Hafs mulai tersebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani didukung oleh banyaknya cetakan al-Quran dari Saudi Arabia hingga ke seluruh dunia, padahal sebelumnya hanya mendominasi di kawasan timur saja (benua Asia).
Sebelum diulas tentang bacaan gharib versi Hafs, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu di sini pengertian gharib itu. Istilah gharib terambil dari bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat dari kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit) dan khafiya (samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak popular dalam peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan para pakar ilmu qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di Indonesia. Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut. Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah.

C. Pembahasan
1. Saktah
Secara bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكتسكوتا  yang berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (M. Makky Nasr, tt:153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti  بالآخرة،  عذاب أليم  (Arwani Amin, tt:3-6).
Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan saktah hanya ada di empat tempat, yaitu:
a. Surat al-Kahfi ayat 1        :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)
1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya;
2. (Sebagai bimbingan)  yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,

b. Surat Yasin ayat 52          :
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).

c. Surat al-Qiyamah 27        :
 كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27)
26. Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”,

d. Surat al-Muthaffifin 14   :
 كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Pada saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat pada surat Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang qari mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah berhenti pada waqaf tamm (sempurna). Namun setelah melihat kalimat setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما , kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما   bukan sifat/naat dari kata عوجا , melainkan jadi hal atau maf’ul bih, sehingga jelas tidak tepat bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Mestinya terjemahannya adalah: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan tersebut sesuai dengan analisis sintaksis dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy.
Menurut Ad-Darwisy (2002:530/V) kata قيّما dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا  , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa جعله “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad dari badal jumlah وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا  “.  Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena beberapa alasan di atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun diwaqafkan sama-sama tidak tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah.
Demikian juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ.  Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII) kata هذا itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan kata هذا itu sifat dari مرقد, sementara ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa kata هذا dan seterusnya bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau orang mukmin (As-Shabuni, 1997:16/III).
Sedangkan untuk pada من  pada مَنْ – راق dan بل  pada بَلْ ران  yaitu untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, juga untuk mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (Al-Qaisy, 1987:II/55). Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من  dan بل itu perlu dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata terpisah yang memiliki makna tersendiri.
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang dianjurkan oleh para imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu:
1. Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
2. Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29:
مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ () هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Saktah pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ  dan ha’ fi’il pada هَّلَكَ.

2. Imalah
Secara bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة (الرمح)  yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah, seperti الضحى، قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata مجراها (QS. Hud:41).
Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dalam ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini  bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah (Abu Thahir, 1994:312). Juga dengan bacaan imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut akan tetap  tampak ketika dibaca.
Alasan diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha” yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti berjalan di laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan.

3. Naql (Menggeser harakat)
Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة  terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم .
Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata  بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.


Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal),  yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.

4. Badal/Ibdal (mengganti huruf)
a. Penggantian Hamzah dengan Ya’
Badal/ibdal yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة بالياء  (mengganti hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت  (QS. Yunus:15), في السموات ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini uraian ayat selengkapnya:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4)


Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus:15)


Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan (Al-Qadli, 1981:143).
b. Penggantian Shad dengan Siin
Yakni mengganti shad dengan siin pada kata يبصط   (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Al-Qadli, 1981:119) sedangkan pada بمصيطر  (QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan المصيطرون  (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya (Al-Qadli, 1981:306).

Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, yaitu  بسط – يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’ (Al-Qaisy, 1987:I/34).

5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل  dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata صراط، الصراط dengan memadukan bunyi ص  dan ز  (Al-Qadli, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam  hanya ada kata لا تأمنا. yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Berikut ini ayat selengkapnya:
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.

Kalau diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti bacaan di atas disebut idgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf yang sama, yang salah satunya huruf mati).
Secara bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan (Al-Qaisy, 1987:II/161). Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata “la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:
 قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ
(Mereka, saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidak percaya pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya).

6. Tas-hil
Arti tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan – dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS. al-Fusshilat:44).
Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”.


Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan.
Juga ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nasr Makky (tt:137) ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143    : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
2. Surat al-An’am ayat 144    : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
3. Surat Yunus 51                  : أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلْآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ
4. Surat Yunus 91                  : آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
5. Surat Yunus 59                  : قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
6. Surat al-Naml 59                : قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

7. Madd & Qasr
Dalam qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya:
a- ملك terbaca مالك
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك  dan bukan ملك الملك juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam Allah berfirman: ملك الناس  yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين  (Al-Qaisy, 1987:I/26).

b-أنا  terbaca أن ketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat (Al-Qaisy, 1987:II/61).
Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS. Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan ayatnya:
Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن + نحن .

c- الرسولا، الظنونا، قواريرا
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif (Al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif (Al-Qaisy, 1987:II/353).

d- أولئك، أولوا، الملاء
Dalam rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك  أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا، هذه، ذلك  . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.

8. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah (Al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih (Al-Qaisy, I/42).
Kendatipun demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan  Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي  atau عليهي (Al-Qaisy, 1987:I/42). Dan  ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu  يرضه لكم  (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Al-Qadli, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه  berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في  menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه .  Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan). Menurutnya konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut. Ayat itu menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan oleh “ibadur rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”.
 (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,

Sebagai konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii, seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu).
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه  dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
Demikian juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang didlammahkan meski jatuh setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

Menurut Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan sifat yang mulia dan luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah.

9. Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف   (QS. al-Ruum:54).
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kata tersebut adalah masdar dari   ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim) memfathah dlad dan lainnya kecuali Imam Hafs membacanya dengan dlammah. Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya, fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُفيضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف   dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر (Al-Qaisy, 1987:II/213).

10. Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat
Dalam Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya.
 (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).

Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan (al-Qaisy, 1987:I/20).
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain (Al-Qadli, 1981:13).

Daftar Rujukan
Abu Thahir, Abd al-Qayyum ibn Abd al-Ghafur. 1994. Shafahat fi Ulumal-Qiraat. Madinah: Mathabi ar-Rasyid.
Ad-Darwisyi, Muhyiddin. 2002. I’rabul Quran wa Bayanuh. Damaskus: Dar Ibn Katsir. Juz I. Hal. 5-7.
Al-Khalidi, Shalah Abd Fattah. 2004. Lathaif Qur’aniyyah. Damaskus: Dar al-Qalam
Al-Qadli, Abdul Fattah. 1981. Al-Budur az-Zahirah. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby.
Al-Qaisy, Abu Muhammad Makki ibn Abi Thalib. 1987. Al-Kasyfu an Wujuh al-Qiraat as-sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha. Cet. 4. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Arwani Amin. Tanpa tahun. Faidl al-Barakat. Kudus: Penerbit Menara Kudus
Ibrahim Mushtofa. Tanpa tahun. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar ad-Da’wah
Muhammad Makki Nasr. Tanpa tahun. Nihayat al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid. Kairo: Maktabat as-Sofa.

4 komentar:

  1. Alhamdulillah...trimakasih yach
    Saya ikut nyimak

    BalasHapus
  2. Jazaakallah.. sangat membantu 👍

    BalasHapus
  3. Terimakasih sangat membantu.....

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah sangat membantu, tapi untuk poin yang ke sepuluh itu dianjurkan baca basmalah di tengah" surat Al Bara-ah, Nah Maksud ditengah" nya itu disebelah mananya ya...?

    BalasHapus