Hukum belajar ilmu tajwid adalah
fardhu kifayah. Kalau ada dalam suatu tempat ada seseorang yang menguasai ilmu
ini maka bagi yang lainnya tidak menanggung dosa, kalau sampai tidak ada maka
seluruh kaum muslimin menanggung dosa.
Sedangkan membaca Al Qur’an dengan
tajwid adalah wajib ‘ain artinya bagi seorang yang mukalaf baik laki-laki atau
perempuan harus membaca Al Qur’an dengan tajwid, kalau tidak maka dia berdosa,
hal ini berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dan ucapan para ulama.
1. Dalil-dalil dari Al Qur’an
1. Firman Allah Azza wa Jalla:
“…dan bacalah Al Qur’an itu dengan
tartil.” (Al Muzzammil: 4)
Maksud tartil itu adalah membaguskan
huruf dan mengetahui tempat berhenti, keduanya ini tidak akan bisa dicapai
kecuali harus belajar dari ulama atau orang yang ahli dalam bidang ini, dan
perintah ini menunjukkan suatu kewajiban sampai datang dalil yang bisa merubah
arti tersebut.
2. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Orang-orang yang telah kami berikan
Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu
beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)
Dan mereka tidak akan membaca dengan
sebenarnya kecuali harus dengan tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka
bacaan itu menjadi bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah
arti. Ayat ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang
membaca Al Qur’an dengan bacaan sebenarnya.
3. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Dan kami membacanya dengan tartil
(teratur dengan benar).” (Al Furqan: 32)
Ini adalah sifat Kalamullah, maka
wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa
Jalla.
2. Dalil-dalil dari As Sunnah
1. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau
menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan
panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan
(bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR.
Bukhari)
2. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada sahabat agar mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam
bidang ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash
berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah
kalian bacaan Al Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah,
Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah para sahabat yang mulia,
padahal mereka itu orang-orang yang paling fasih dalam pengucapan Al Qur’an
masih disuruh belajar, lalu bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita
jauh dari lisan Al Qur’an?
3. Dan dalil yang paling kuat
sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud
menuntun seseorang membaca Al Qur’an. Maka orang itu mengucapkan:
“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal
masakin.”
Dengan meninggalkan bacaan
panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu katakan, “Bukan begini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat ini kepadaku.” Maka
orang itu jawab, “Lalu bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai
Abu Abdirrahman?” Maka beliau ucapkan:
“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i
wal masaakiin.”
Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id
bin Mansur)
Ibnu Mas’ud langsung menegur orang
ini padahal ini tidak merubah arti, akan tetapi bacaan Al Qur’an itu adalah
suatu hal yang harus diambil sesuai dengan apa yang Rasulullah ucapkan.
3. Ijma’
Seluruh qura’ telah sepakat tentang
wajibnya membaca Al Qur’an dengan tajwid.
Fatwa Para Ulama Dalam Permasalahan
Ini
1. Fatwa Ibnu Al Jazary
Tidak diragukan lagi bahwa mereka
itu beribadah dalam upaya memahami Al Qur’an dan menegakkan ketentuan-ketentuannya,
beribadah dalam pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai
dengan sifat dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. (Annasyr 1/210)
2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah
Adapun orang yang keliru yang
kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan mungkin mencakup qira’at yang lainnya,
dan ada segi bacaan di dalamnya, maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh
shalat di belakangnya seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’,
pergantian dari “ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa
22/442 dan 23/350)
Dari fatwa ini bisa kita ambil
kesimpulan:
1. Tidak selayaknya seorang yang
masih salah dalam bacaan (kesalahan secara tersembunyi) untuk menjadi imam
shalat, lalu bagaimana dengan yang mempunyai kesalahan yang fatal seperti yang
tidak bisa membedakan antara ‘sin’ dengan ‘tsa’ atau ‘dal’ dengan ‘dzal’, yang
jelas-jelas merubah arti.
2. Secara tidak langsung Syaikhul
Islam telah mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan tajwid karena kesalahan
kecil itu tidak sampai merubah arti, beliau melarang untuk shalat di
belakangnya, lalu bagaimana dengan kesalahan yang besar.
3. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al
Albany
Ketika ditanya tentang perkataan
Ibnul Jazary tersebut di atas, maka beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu
sifat bacaannya di mana Al Qur’an itu turun dengan memakai tajwid dan dengan
tartil maka itu adalah benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya
maka itu tidak benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)
4. Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr
Telah sepakat seluruh umat yang
terbebas dari kesalahan tentang wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang
menyelisihi pendapat ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Panduan Praktis Tajwid &
Bid’ah-bid’ah Seputar Al Qur’an serta 250 Kesalahan dalam Membaca Al Fatihah,
penulis: Al Ustadz Abu Hazim bin Muhammad Bashori, penerbit: Maktabah Daarul
Atsar, Magetan. Hal. 33-38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar